Rabu, 15 Mei 2013 | 22:02 WIB
Metrotvnews.com, Jakarta: "Keberatan dicatat". Hanya itulah tanggapan Hakim Ketua Sudharmawatiningsih saat Maqdir yang menjadi pengacara karyawan PT Chevron Pacific (CPI) Endah Rumbiyanti, mengejar fakta aneh tentang Edison Effendi.
Respon demikian pun mengundang ketidakpuasan dari tim penasehat hukum yang mendampingi Endah selaku salah seorang terdakwa dalam perkara korupsi proyek bioremediasi PT Chevron yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (15/5).
Pasalnya, kini semakin bertambah alasan bagi tim kuasa hukum untuk mencurigai kompetensi Edison yang didatangkan jaksa penuntut umum sebagai saksi ahli bioremediasi dalam perkara tersebut.
Dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Edison, disebutkan bahwa dia menempuh pendidikan formal S1 dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Selain dicantumkan bahwa Edison lulus S1 dari ITB pada 1984, disebutkan bahwa Edison lulus S2 dan S3 dari perguruan tinggi yang sama.
"Pertanyaan saya, apakah isi keterangan yang saudara sebut tadi betul?" tanya Maqdir salah seorang kuasa hukum.
Anehnya saat dikonfrontasi dengan pertanyaan tersebut, Edison awalnya hanya mengatakan, "Karena tidak ada hubungan dengan bioremediasi, saya tidak mau jawab."
Bagi tim kuasa hukum, perkara itu perlu diklarifikasi. Hal itu mengingat bahwa dipilihnya seorang saksi atau ahli, harus mempertimbangkan cara hidup dan ketentuan lainnya. Lebih lanjut Maqdir menjelaskan, "Kenapa saya tanya ini, kami sudah mengecek ke ITB dan ditemukan bahwa ahli ini tidak pernah mendapatkan S1-nya di ITB."
Saat Maqdir memaparkan temuan yang mengindikasikan adanya kebohongan dalam BAP itu, Edison yang diundang jaksa sebagai saksi ahli itu duduk di kursinya dengan mata terpejam.
Dia tetap menutup kedua matanya hingga Hakim Ketua mengambil alih pertanyaan. "Saudara ahli, Anda setelah diperiksa BAP dibaca atau tidak?" tanya Sudharmawatiningsih.
Ditanya begitu, Edison hanya mengaku lupa dan mengatakan bahwa saat itu kondisinya sudah malam. Anehnya meski tidak secara tegas mencabut keteragan yang telah dikatakan dalam BAP, hakim langsung mengambil pertimbangan agar sidang tetap dilanjutkan dan keterangan di BAP itu dikesampingkan.
"Yang dipakai adalah yang di persidangan," simpul Hakim Ketua.
Karena hanya menjadi catatan bagi majelis hakim, Maqdir pun menegaskan bahwa keterangan itu akan digunakan untuk melaporkan Edison ke polisi.
Selain menyangkut keterangan latar belakang pendidikan yang palsu dalam BAP, keanehan lain menyangkut kesaksian Edison juga mengemuka dalam persidangan.
Dalam catatan resmi, diketahui bahwa pada 24 April 2012, Edison diminta kejaksaan untuk menjadi ahli bioremediasi. Namun ternyata sebulan sebelumnya yakni tepatnya pada 16 Maret 2012, Edison yang kala itu menjadi dosen di Universitas Trisakti, sudah mendapatkan surat perintah dari perguruan tinggi tersebut untuk menjadi saksi ahli dalam perkara tersebut. Bahkan jauh sebelum ada surat-surat resmi itu, Edison juga pernah datang bersama kejaksaan ke PT CPI untuk mengambil sampel.
Fakta-fakta yang mengemuka dalam persidangan itu pun lantas mengundang tanya, yakni bagaimana dia bisa melakukan pengambilan sampel sebelum ditunjuk jaksa sebagai saksi ahli.
Sementara itu, surat perintah dari perguruan tinggi tempatnya bernaung yang harusnya memberikan izin pun keluar lebih dahulu daripada surat dari penunjukkan dari jaksa.
Mengaku tidak bisa mengklarifikasi urutan tersebut, Edison hanya mengatakan bahwa dia tidak bisa mengingat tanggal-tanggal. Lalu dia menambahkan, "Sebagai informasi, saya pernah diundang kejaksaan untuk memberi kursus tentang bioremediasi selama kurang lebih sampai 6 bulan."
Keterangannya itu justru menunjukkan bahwa ada kedekatan khusus antara Edison dengan kejaksaan. Terlebih menurut Herland, direktur perusahaan kontraktor yang bekerja sama dengan PT Chevron dan telah divonis hakim dengan pidana penjara 6 tahun, dirinya pernah mendapat keterangan dari penyidik bahwa perkara yang menyeret dirinya dan terdakwa-terdakwa lain dalam kasus itu, bermula dari laporan Edison.
Bahkan Rabu (15/5) ini saat Edison dipanggil untuk hadir sebagai saksi dalam sidang, bukannya menunggu di ruang saksi yang tersedia, Edison justru menunggu di dalam ruang tunggu jaksa penuntut umum.
Secara terpisah, Widodo, karyawan PT CPI yang juga menjadi terdakwa dalam perkara yang sama, juga menyebutan bahwa terdapat kejanggalan saat pengambilan sampel tanah pada area operasi CPI di Minas, Riau, yang dilakukan bioremediasi 8-9 Maret 2012.
Pada dokumen dakwaan kepada Widodo, tertulis bahwa dari hasil uji laboratorium atas sampling tanah tersebut, tanah yang terkontaminasi dan diambil dari lokasi Stock Pile, tingkat TPH (total petroleum hydrocarbon) sebesar 0,4783-0,5255% dan tidak perlu dilakukan bioremediasi.
Karena berdasarkan Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 128 tahun 2003 tentang Tatacara Dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi Dan Tanah Terkontaminasi Oleh Minyak BumiSecara Biologis standar bioremediasi adalah TPH di bawah 1%.
Pengambilan tanah oleh JPU dan Edison sebagai saksi ahli dari JPU, menurut Widodo, dilakukan di lokasi stock pile, bukan pada lokasi soil bioremediation facility (SBF). Padahal, lokasi stock pile merupakan lokasi penampungan tanah tercemar yang kemudian dipilah dan dipindahkan ke lokasi SBF untuk dilakukan bioremediasi.
"Biasanya pengambilan sample tanah yang dibioremediasi dilakukan di lokasi SBF, tapi ini diambil di stock pile dan memilih jenis tanah yang bersih. Karena itulah tanah itu yang didapatkan pun hasilnya bersih dan tidak perlu dibioremediasi," ujar Widodo yang juga berada di lokasi pada saat pengambilan sampel oleh pihak kejaksaan.
Sejak awal, PT Chevron Pacific Indonesia sebenarnya sudah menolak penunjukkan Edison Effendi sebagai saksi ahli. Hal ini lantaran dinilai ada konflik kepentingan.
Sebagai catatan, Edison pernah menjadi tim ahli dari perusahaan yang ikut dalam tender untuk bekerja sama dengan proyek bioremediasi yang dijalankan PT Chevron.
Beberapa kali, perusahaan yang didukung Edison, gagal memenangkan tender. Atas dasar itu, keterangan dan kesaksian Edison pun dipandang bersumber dari seorang yang sakit hati karena kalah tender dan seharusnya dipandang tidak layak dijadikan saksi ahli dalam sidang perkara itu. (Hera Khaerani)
Editor: Asnawi Khaddaf
Klik Metrotvnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar