Senin, 6 Mei 2013 | 08:54 WIB
RIAU, KOMPAS.com — Penanganan kasus Proyek Bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) oleh Kejaksaan Agung diduga telah melanggar hak asasi manusia (HAM). Dugaan pelanggaran tersebut terkait perlakuan terhadap tersangka.
"Kami sudah menyiapkan bahan hasil penyelidikan Komnas HAM setebal 400 halaman," ujar Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, dalam siaran pers, Minggu (5/5/2013). Dia mengatakan, sudah ada beberapa indikasi pelanggaran HAM dalam penangan kasus itu yang ditemukan Komnas HAM.
"(Pelanggaran) yang mencolok adalah diskriminasi di hadapan hukum dan peradilan," sebut Pigai. Komnas HAM, ujar dia, telah meminta keterangan dari berbagai pihak, termasuk dari PT CPI, 18 orang karyawan PT CPI, SKK Migas, BPKP, BPK, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian ESDM.
Pigai menambahkan, Edison Effendi yang merupakan pelapor kasus ini sekaligus saksi ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) sudah dipanggil tiga kali, tetapi belum datang. "Tidak ada keterangan yang jelas," ujar dia.
Sebelumnya, Edison dalam persidangan sudah dinyatakan bukan saksi ahli yang kompeten. Selain sebagai pelapor, Edison juga merupakan pejabat dari perusahaan yang kalah tender dalam proyek bioremediasi di Chevron Wilayah Provinsi Riau.
Dukungan Chevron
Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, menyatakan, mendukung upaya Komnas HAM ini dan berharap rekomendasi Komnas HAM segera disampaikan ke publik. "Kami melihat dan mencatat berbagai kejanggalan dalam proses penanganan kasus ini oleh Kejagung dan juga proses peradilan yang tengah berlangsung," kata dia.
Karenanya, Indrawan mengatakan, perusahaannya mendukung penuh upaya karyawan, kontraktor, dan keluarga terdakwa untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini. "Sebagai hak warga negara yang harus dihormati dan dilindungi," ujar dia.
Kejanggalan, tutur Indrawan, sudah terlihat sejak keluarnya putusan praperadilan yang membebaskan para tersangka setelah menjalani penahanan 62 hari. Keempat terdakwa dalam kasus ini adalah Kukuh Kertasafari, Endah Rumbiyanti, Widodo, dan Bachtiar Abdulfatah. Hakim praperadilan menyatakan penahanan keempat terdakwa tak sah, bahkan Bachtiar dinyata tak layak menjadi tersangka.
Kasus bioremediasi ini menyeret dua orang dari pihak kontraktor dan tiga orang dari pihak PT CPI. Kejaksaan Agung dianggap memaksakan perkara ini masuk ke ranah pidana korupsi. Berdasarkan keterangan saksi dari KLH, izin bioremediasi Chevron tak menyalahi aturan yang ada.
"KLH tak mewajibkan pihak ketiga punya izin, kita melihat Chevron-nya. Dalam PP sudah jelas yang wajib punya izin adalah penghasil limbah," kata Masnellyarti Hilman, Kepala Deputi IV KLH. Ketentuan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah No18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3 juncto PP No 85 Tahun 1999 tentang perubahan atas PP No 18 Tahun 1999.
Sumber : ANT
Editor : Palupi Annisa Auliani
Klik Kompas.com
Peradilan sesat menghasilkan tuntutan yang sesat sehingga mendzolimi orang lain dan akhirnya menghasilkan keputusan yang sesat juga ...
BalasHapus