Keterangan tersebut disampaikan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai saat membacakan hasil penyidikan lembaganya atas proses hukum kasus korupsi proyek bioremediasi PT CPI kepada sejumlah tersangka, terdakwa, dan keluarganya, serta penasehat hukum saat audiensi di kantronya bilangan Jakarta Pusat, Selasa, (21/5).
"Dalam kesimpulan ini, ada empat kesimpulan, ada 4 pelanggaran HAM dengan menyelidiki atas 11 variabel kejanggalan ini," ucap Pigai.
Keempat kesimpulan pelanggaran HAM tersebut, imbuh pria berdarah Papua ini, adalah;
- Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapat kepastian dan perlakuan hukum yang sama.
- Kedua, terlanggaarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.
- Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapat keadilan dan proses hukum yang adil, jujur, dan berimbang, serta
- Keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena pelanggaran perjanjian perdata.
Pigai menjelaskan, keempat kesimpulan tersebut merupakan inti dari berkas setebal 400 halaman hasil penyidikan mendalam yang dilakukan Komnas HAM dengan memanggil terdakwa atau korban, saksi ahli, pihak kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), BPKP, dan BPK.
"Kami menghasilkan 400 halaman. Ini yang paling tebal, karena Komnas HAM jarang sampai 400, paling banter 200 halaman, karena kami memotret, ini merupakan sebuah kejahatan hukum di zaman modern, sesuatu yang sesungguhnya salah, tapi tetap dilaksanakan," bebernya.
Pigai menegaskan, setelah mendapat pengaduan dari sejumlah tersangka dan terdakwa, Komnas HAM langsung bekerja melakukan penyidikan secara independen dan imparsial. "Kami tidak dalam perspektif siapapun," tandasnya.
Berkas setebal itu, ucap Pigai, Senin pekan depan akan dikirimkan ke sejumlah lembaga dan pejabat terkait, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhyonono (SBY), Ketua DPR RI, Marzukie Alie; Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika; Kejaksaan Agung, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), dan Komisi Yudisial (KY).
"Bila perlu, kami mengantar langsung kepada mereka. Artinya, agar bisa langsung ditindaklanjuti. Ada sesuatu yang bergerak secara visual, bukan hanya bergerak dengan surat yang tidak mempan di republik ini. Itu tanda upaya komnas HAM nyata dan bisa ditindaklanjuti. Istilahnya kita sudah nyatakan perang terbuka," tandasnya.
Berdasarkan hasil penyidikan, Komnas HAM menyimpulkan, bahwa tersangka dan terdakwa kasus ini hanyalah menjadi korban. Pasalnya, jikapun ini menjadi kasus korupsi, perusahaan mempunyai top manajemen, sehingga siapa seharusnya yang bertanggung jawab.
"Kami menyimpulkan, mereka yang menjadi korban, sebenarnya bukan yang seharusnya bertanggung jawab. Masih ada atasan yang lebih bertanggung jawab," tandasnya.
Selain itu, Pigai mempertanyakan, jika kasus ini diproses secara hukum, maka kenapa pihak lain, seperti KLH dan BP Migas (SKK Migas) tidak ikut diseret ke ranah hukum. Kejanggalan lainnya, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, kontraktor tidak harus mengantongi izin dalam mengerjakan proyek bioremediasi.
"Kami juga melihat lokasi sampel ada 9 SBF lokasi, tapi yang dijadikan sampel cuma 2. Padahal letaknya berjauhan, struktur tanah dan air berbeda. Jadi, ini kami anggap sesuatu yang sangat miss," ucapnya.
Kejanggalan lainnya, imbuh Pigai, yakni soal TPH. Sesuai dengan Kepmen KLH nomor 128 tahun 2003, tidak diatur adanya TPH minimun 7,5%. "Jadi proses dinyatakan selesai jika TPH sampai 1%."
Dalam proses hukum kasus ini, juga terjadi konflik kepentingan. Pasalnya, ahli dalam kasus ini adalah seseorang yang dua kali ikut tender proyek bioremediasi dan tak berhasil. "Kami punya bukti dan saksi. Jadi kami menilai saksi ahli punya conflik of interest yang besar dalam hal ini," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, M Adi Toegariman menghimbau semua pihak menghormari proses hukum kasus PT CPI dan melihat fakta persidangan.
Dalam kasus ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah memvonis dua orang terdakwa, yakni Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya) masing-masing 5 dan 6 tahun penjara dan sejumlah denda.
Dari tujuh yang ditetapkan sebagai tersangka, baru dua orang yang sudah divonis, sedangkan 3 tersangka lainnya telah menjadi terdakwa dan tengah menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor dan 2 orang masih bestatus tersangka dan segera menyusul menjadi terdakwa.
Adapun 7 orang yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, di antaranya lima orang dari pihak Chevron, yakni Endah Rubiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua orang dari pihak kontraktor, yakni, Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia) dan Herlan (Direktur PT Sumigita Jaya).
Sementara, Alexiat Tirtawidjaja sendiri masih berada di Amerika Serikat menemani suami yang sedang berobat. Kejaksaan Agung belum melakukan pemeriksaan terhadap Alexiat. (IS)
Klik Gatra.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar