Penulis : Charles Siahaan - Editor : Charles Siahaan
Senin, 6 Mei 2013 11:05:16
KOMISI VII DPR RI berencana memanggil PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan SKK Migas terkait kasus bioremediasi yang sudah berlarut-larut. Sementara Komnas HAM menyatakan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus Proyek Bioremediasi CPI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Senayan - Anggota Komisi VII DPR RI Satya Widya Yudha merasa prihatin terhadap kasus bioremediasi yang sudah berlarut-larut. Ia menyatakan, penyelesaian kasus bioremediasi saat ini tidak murni dengan fakta-fakta hukum.
"Ini perlu dicermati ada apa. Karenanya, saya akan mengusulkan kepada Ketua Komisi VII agar memanggil pihak-pihak terkait seperti Chevron dan SKK Migas," tukasnya kepada JurnalParlemen, Senin (6/5). Rencananya pemanggilan terhadap Chevron dan SKK Migas akan dilakukan pada minggu pertama atau kedua setelah DPR memasuki masa sidang IV.
Selain itu, karena sudah masuk ke ranah hukum, dia juga akan mengusulkan ke Komisi III untuk memanggil pihak Kejaksaan Agung. "Karena, masalah ini sudah sangat berlarut-larut," tandasnya. Ia juga mengungkapkan, ikatan alumni ITB dan ITS juga akan ikut komplain terhadap masalah ini.
Dalam keterangannya Kamis (2/5) lalu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai menyatakan, ada indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus Proyek Bioremediasi CPI yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
“Kami sudah menyiapkan bahan hasil penyelidikan Komnas HAM setebal 400 halaman. Komnas HAM menemukan beberapa indikasi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus bioremediasi ini. Yang mencolok adalah diskriminasi di hadapan hukum dan peradilan,” tukasnya.
Dalam hal ini, Komnas HAM telah meminta keterangan dari berbagai pihak antara lain Chevron selaku korporasi, 18 orang karyawan Chevron, SKK Migas, BPKP, BPK, KLH, Kementerian ESDM, dan berkoordinasi dengan Komisi Kejaksaan dan IPA (Indonesian Petroleum Association). Ahli bioremediasi Edison Effendi sudah dipanggil tiga kali tapi tidak datang dan tidak ada keterangan yang jelas.
Natalius Pigai, yang juga Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, menyatakan bahwa Komnas HAM menerjunkan tim untuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan dengan memanggil saksi dan meminta keterangan berbagai pihak, mempelajari dokumen dan mengunjungi lokasi 9 SBF di Riau.
Menurut Natalius, berdasarkan penyelidikan dan investigasi mendalam oleh para penyidik Komnas HAM, ditemukan beberapa indikasi pelanggaran HAM.
Pertama, proyek biormediasi adalah proyek perusahaan atau korporasi yang mekanisme pengadaan, perencanaan, dan persetujuannya mengikuti mekanisme PSC Migas. Artinya, pertanggungjawaban ada pada level korporasi yaitu pimpinan korporasi/perusahaan.
Kedua, CPI mengacu pada Production Sharing Contract (PSC) dalam menjalankan proyek korporasi ini yang memiliki klausul "Terkait adanya perbedaan penafsiran soal kebutuhan, kerugian, dan segala macam, itu mekanismenya adalah perdata seperti yang diatur dalam kontrak tersebut. Kalau tidak bisa diselesaikan secara perdata maka dibawa ke arbitrase".
Ini berarti semua terdakwa tidak memenuhi unsur sebagai pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai korporasi. CPI telah menjelaskan bahwa proyek ini adalah proyek korporasi dan tidak ada karyawan yang melakukan kesalahan. Jika Kejaksaan Agung menganggap ada masalah, maka yang seharusnya dimintai pertanggung jawaban adalah pimpinan korporasi, bukan karyawannya. "Oleh karenanya penetapan tersangka dalam kasus proyek ini salah sasaran," kata Pigai.
Apalagi, tambahnya, KLH telah menyampaikan bahwa tidak ada masalah dan pelanggaran soal izin, baik oleh CPI maupun kontraktornya. CPI telah memiliki izin dan KLH membolehkan CPI meneruskan proyek bioremediasi saat perpanjangan izin belum keluar dan ada berita acaranya. Soal jaksa bilang kontraktor tidak berizin, KLH menjelaskan kontraktornya memang tidak perlu izin karena izin hanya diberikan kepada CPI yang memiliki limbah, bukan kontraktor.
Kelima, Kejagung mengambil sampel tanah dari 2 SBF, menilai bermasalah tapi menyimpulkan bahwa seluruh proyek di 9 SBF bermasalah. Para ahli yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM mengatakan tidak bisa metodologi pengambilan sampel seperti itu digunakan, karena sampel pada dua SBF tidak dapat mewakili sembilan SBF yang jaraknya saling berjauhan dan bisa berjam-jam untuk menempuhnya. Logika ini tidak dapat diterima. Kerugian negara sebesar 9,9 juta dolar AS yang dihitung oleh BPKP didasarkan pembayaran kepada kontraktor atas pekerjaan di 9 SBF, dan bukan hanya 2 SBF.
Klik Jurnal Parlemen.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar